Monday 5 October 2015

Wirausaha Indonesia






WIRAUSAHA INDONESIA
Hasil wawancara dan kuesioner yang penulis ajukan ke sekitar 500 mahasiswa sepanjang tahun 2005 di enam Perguruan Tinggi (PT) di jakarta, masing – masing mewakili PT kelas bawah, kelas menengah, dan kelas atas, menunjukaan hasil yang cukup merisaukan kita tentang motivasi berwirausaha di kalangan mahasiswa. Pertanyaan yang diajukan kepada para mahaasiswa adalah Apa yang akan mereka lakukan setelah menyelesaikan pendidikan atau setelah memperoleh gelar sarjana, mencari pekerjaan (menjadi pegawai), menjadi wirausahawan, atau menjadi karyawan sambil berwirausaha? Sebagian besar sekitar 76 persen menjawab akan melamar kerja atau dengan kata lain menjadi pegawai (karyawan). Kemudian, hanya sekitar 4 persen yang menjawab ingin berwirausaha. Selebihnya menjawab menjadi karyawan sambil berwirausaha. Hasil wawancara dengan para mahasiswa itupun menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda.
Artinya, bahwa orientasi para mahasiswa setelah lulus hanya untuk mencri kerja, bukan menciptakan lapangan kerja. Rupaannya cita – cita seperti ini sudah berlangsung lama terutama di Indonesia dengan beragai sebab. Jadi, tidak mengherankan jika setiap tahun jumlah orang yang menganggur terus bertambah. Sementara itu, pertumbuhan lapangan kerja semakin sempit. Hasil wawancara dan kuesioner tersebut memang belum menunjukkan secara utuh cita-cita mahasiswa setelah lulus kuliah. Namun, paling tidak hasil ini sudah memberikan sedikit gambaran betapa pola pikir untuk menjadi wirausaha di kalangan mahasiswa masih sangat kecil.
Pola pikir yang diwujudkan dalam cita-cita untuk menjadi pegawai sebenarnya sudah terjadi di berbagai belahan dunia sejak puluhan tahun lalu. Seorang penulis buku tentang motivasi yang terkenal, yaitu max Gunther pernah mengkritik sistem pendidikan di Amerika Serikat tahun 70-an yang katanya hanya akan melahirkan lulusan “Sanglaritis” yang artinya mereka mempunyi mental buruh, yaitu ingin menjadi pegawai negeri atau pegawai swasta. Mereka kurang mampu dan mau menciptakan lapangan kerja sendiri. Bahkan, untuk kasus Indonesia hal itu masih terjadi sampai sekarang.
Di Indonesia sampai akhir 2005 diperkirakan 12.000.000 orang menganggur, naik hampir 11 persen dari tahun sebelumnya. Jumlah ini 11,3 persen dari angkatan kerja tahun 2005 sebesar 106.888.000. dari total 12.000.000 pengangguran ini sekitar 10 persen atau hampir  1.000.000 adalah kaum intelek yang menyandang gelar pendidikan perguruan tinggi. Lalu pertanyaanya, siapa yang salah, mahasiswa, para orang tua, atau pemerintah, jawabnnya tentu tergantung dari sudut mana kita memandang, kita tidak dapat mengambinghitamkan salah satu pihak.  Masing-masing memiliki peran tersendiri, baik langsung maupun tidak langsung akibat pola pikir yang belum atau tidak mau diubah.
Dari hasil penelitian, mahasiswa sulit untuk mau dan memulai wirausaha dengan alasan mereka tidak diajar dan dirangsang untuk berusaha sendiri. Hal ini juga didukung oleh lingkungan budaya masyarakat dan keluarga yang dari dulu selalu ingin anaknya menjadi orang gajian atau pegawai. Di sisi lain, para orang tua kebanyakan tidak memiliki pengalaman dan pengetahuan untuk berusaha. Oleh karena itu, mereka lebih cenderung mendorong anak-anak mereka untuk mencari pekerjaan atau menjadi karyawan. Orang tua juga merasa lebih bangga, bahkan sebagian merasa terbebas, bila anaknya yang telah selesai kuliah mampu menjadi pegawai. Dan faktor yang tidak kalah pentingnya adalah tidak ada atau sulitnya memiliki modal untuk berwirausaha.
Sementara itu, pemerintah kurang begitu tanggap untuk mengubah pola pikir masyarakat. Kalaupun ada, sebagian kecil baru dimulai tahun 1990-an, baik melalui materi kuiah atau cara-cara lain. Baru pada tahun 2000-an kegiatan wirausaha mulai digalakkan lagi. Pemerintah melalui lembaga pendidikan tinggi (memasukan mata kuliah dan materi) diharapkan mampu menciptakan jiwa-jiwa wirausaha sehingga mereka mampu mandiri dan menciptakan lapangan kerja yang setiap tahun bertambah terus.
Dalam hal pendidikan kewirausahaan (Entrepreneurship), Indonesia tertinggal jauh dibandingkan dengan luar negeri, bahkan di beberapa negara pendidikan tersebut telah dilakukan puluhan tahun yang lalu. Misalnya, di negara-negara Eropa dan Amerika Utara pendidikan kewirausahaan sudah dimulai sejak 1970-an. Bahkan di Amerika Serikat lebih dari 500 sekolah sudah mengajarkan mata kuliah kewirausahaan era tahun 1980-an. Sementara itu, di Indonesia pendidikan kewirausahaan baru mulai dibicarakan era tahun 1980-an  dan digalakkan tahun 1990-an. Hasilnya kita patut bersyukur bahwa dewasa ini sudah mulai berdiri beberapa sekolah yang memang beorientasi untuk menjadikan mahasiswanya sebagai calon pengusaha unggul setelah pendidikan. Meskipun masih terdengar sayup gaung lahirnya wirausaha-wirausaha baru, paling tidak kita sudah memulainya.

No comments :

Post a Comment